Deru kendaraan saling sahut
menyahut bergantian melewati perempatan tempatku biasa mencari nafkah. Debu
jalanan dan teriknya matahari telah menjadi kawan baik yang selalu menemaniku
setiap hari. Peluh yang bercucuran, ku seka dengan punggung tanganku. Ku hitung
receh demi receh yang kudapatkan dari belas kasihan orang-orang.
'Ahh, baru terkumpul segini'
keluhku sambil menatap nanar uang yang berada di tanganku.
'Masih kurang lima ribu lagi'
Lampu lalu lintas sudah
kembali menyala merah, dan aku masih saja duduk dibawah pohon pinggir jalan
bukannya bergegas menghampiri kendaraan-kendaraan itu seperti temanku yang lain.
Rasanya sudah tidak kuat lagi kakiku berjalan menyusuri mobil demi mobil untuk
meminta belas kasihan mereka. Sudah seharian ini aku mengamen, tapi hasil yang
aku dapat baru 15 ribu. Aku masih menatap pasrah kendaraan didepanku yang
tertahan oleh lampu merah sampai akhirnya sebuah pukulan di kepala
menyadarkanku.
'Hey, pemalas! Mau sampai
kapan duduk terus?' bentakan Bang Bewok mengagetkanku.
'I..i..iiya bang. Ini juga
baru mau jalan' jawabku terbata-bata.
'Cepat sana!'
Aku pun berjalan gontai ke
arah kendaraan yang masih berhenti. Sambil mengamen, aku memperhatikan Bang Bewok
yang sedang duduk sambil memainkan gitar kecil di tangannya. Bang Bewok adalah
bawahan dari boss Acun yang tugasnya mengawasi kami bekerja dan memastikan kami
pulang membawa setoran setiap hari.
Bang Bewok adalah tipikal
orang kasar yang tidak segan-segan untuk menyakiti orang lain yang tidak
mematuhi perintahnya. Karena sifatnya itulah dia menjadi tangan kanan
kesayangan boss Acun.
Sebuah koin lima ratus rupiah
terulur dari sela jendela mobil di hadapanku. Aku melanjutkan lagi tugasku. Aku
baru bisa menyelesaikan tugasku jam 10 malam. Aku bergegas pulang ke rumah
seusai tugasku yang melelahkan sedari pagi sampai malam.
Sebenarnya, tempat itu tidak
layak disebut rumah. Tempat itu adalah penampungan bagi kami, anak jalanan
sebatang kara yang dipungut kemudian dipekerjakan oleh boss Acun. Penampungan
yang kami tempati ini seperti barak, berukuran 6x5 meter dengan tikar sebagai
alasnya.
Sesampainya aku didalam
penampungan, kulihat sudah ada beberapa temanku yang tertidur. Mereka lelah,
sama sepertiku. Aku pun langsung merebahkan tubuhku di tikar tempatku biasa
tidur. Aku harus bangun pagi besok, karena besok adalah hari Minggu yang
berarti hari liburku mengamen dan aku bisa pergi belajar di tempat Bu Lisna.
---
Aku bangun pukul 7, ketika
matahari mulai muncul malu-malu menerobos sela-sela dinding penampungan. Segera
aku membersihkan diriku, mengambil bukuku dan berlari ke kolong jembatan dekat
tempat aku mangkal dimana tempat Bu Lisna biasa mengajar anak-anak jalanan
sepertiku.
Bu Lisna adalah dewi penerang
bagi duniaku yang gelap. Dia adalah salah satu guru lulusan universitas negeri
di Jakarta, yang mengajar sekolah dasar di kawasan Jakarta Pusat. Setiap Senin
sampai Jum'at dia mengajar di sekolah itu, dan setiap hari Minggu dia mengajar
kami agar kami tidak buta huruf dan angka. Dia mengabdikan seluruh hidupnya
untuk mencerdaskan anak-anak calon penerus bangsa tanpa pandang bulu.
Dari jauh sayup kudengar
suara Bu Lisna mengeja kata di papan tulis. Aku semakin bersemangat mengayunkan
kakiku lebih cepat untuk bisa sampai di tempatnya. Tanpa terasa aku setengah
berlari. Rambutku mengayun seirama langkahku yang makin mantap. Sesampainya di
kelas, langsung kucium tangan Bu Lisna kemudian duduk.
'Tegar, coba sekarang kamu
baca tulisan di papan tulis ini' perintah Bu Lisna
Aku pun maju ke depan kelas,
membaca tulisan tangan Bu Lisna yang rapi 'Tidak ada kata menyerah sebelum
mencoba' begitu tulisan yang ditulis olehnya. Beliau hanya tersenyum penuh
arti.
Hari itu kami semua seperti
merasakan kekuatan dari tulisan Bu Lisna. Kata-kata itu terus ku ulang dalam
hati 'Tidak ada kata menyerah sebelum mencoba'. Singkat, padat, penuh arti.
Memberi kami semangat sekaligus pengharapan baru. Tanpa terasa hari sudah sore
dan kelaspun usai. Sungguh berat bagi kami untuk melangkah pulang ke
penampungan. Terlebih lagi menyadari bahwa besok kami harus bekerja mencari
setoran lagi.
---
Di penampungan aku masih
mengulang kata-kata dari tulisan Bu Lisna. Kata-kata itu seolah menghipnotisku,
merasuk ke dalam alam bawah sadarku. Terus terngiang sampai aku tertidur dan
aku memimpikannya. Di dalam mimpiku itu, kulihat Bu Lisna ada di depan kelas
mengajar seperti biasanya. Kemudian dia memanggilku dan berkata 'Tegar, tidak
ada kata menyerah sebelum mencoba. Percayalah kepada dirimu dan hatimu sendiri'
kemudian dia menghilang dan aku terbangun.
Aku bergegas menuju perempatan.
Belum sempat aku mengamen, Ucok, temanku satu penampungan menyodorkan koran dan
menyuruhku membaca headline dari
koran tersebut.
'Seorang guru tewas dirampok
sekawanan penjahat di rumahnya' jantungku berdegup cepat.
Mataku langsung tertuju ke
foto yang berada di bawah berita itu. Aku sempat tidak memercayai mataku,
karena aku melihat Bu Lisna tergeletak bersimbah darah. Aku lihat lekat-lekat
dan kemudian aku baca kelanjutan dari berita tersebut. Disitu disebutkan bahwa
korban bernama Lisna Sulistiawati. Air mataku sudah tak terbendung lagi. Aku
menangis sejadi-jadinya.
Aku dan Ucok mendatangi
rumahnya dan mengikuti pemakamannya. Entah bagaimana hidup kami nanti tanpa
adanya dia. Bagaimana bisa aku tetap belajar mencari ilmu tanpa kehadirannya.
---
Hari-hariku setelah kepergian
Bu Lisna sama saja. Aku masih mencari uang dengan mengamen di perempatan.
Kata-kata yang sama masih sering ku ucapkan ‘Tidak ada kata menyerah sebelum
mencoba’, kata-kata yang membuatku bersemangat dan juga membuatku terus
memikirkannya. Entah mengapa dia hadir di mimpiku pada hari kematiannya. Apakah
maksud dari perkataan dia di dalam mimpiku itu?
Aku kembali menyusuri jalanan
sambil bermandikan tetes air hujan. Siang ini Jakarta hujan. Aku mendapatkan
uang lebih cepat dari biasanya. Pukul setengah delapan aku sudah sampai di
penampungan. 100 meter dari penampungan aku melihat beberapa mobil polisi dan
ada banyak polisi yang bersiap siaga. Aku bersembunyi di balik pohon, melihat
pemandangan yang terjadi di hadapanku. Tak lama kulihat Boss Acun digiring oleh
polisi berseragam preman, kemudian menyususul di belakangnya ada Bang Bewok
yang juga digiring oleh polisi berseragam preman.
Teman-temanku hanya melihat
diam dari dalam penampungan. Beberapa temanku ada yang menangis.
‘Ada apa ini, Cok?’ tanyaku
kepada Ucok yang melihat kejadian itu dari dalam penampungan
‘Boss Acun sama Bang Bewok
ditangkap polisi gara-gara masalah
Narkoba’ jawab Ucok
Aku hanya bisa diam. Aku
memikirkan bagaimana nasib kami selanjutnya?
‘Gar, gimana nasib kita
selanjutnya?’
‘Aku juga gak tau, Cok. Yang
pasti kita harus tetap bisa nyari uang buat makan kita’
---
Sebulan berselang dari
kejadian penangkapan Boss Acun dan Bang Bewok, aku menerima kabar kalau mereka
ditahan selama 12 tahun. Itu berarti, aku dan teman-temanku harus memikirkan
nasib kami sendiri. Kamilah yang menentukan akan jadi apa kami setelah ini.
Dari kejauhan aku melihat Ucok berlari ke arahku.
‘Gar, Tegar, aku punya kabar
baik buat kita’ katanya sambil ngos-ngosan
‘Kabar baik apa, Cok?’
tanyaku tak sabar
‘ Lihat nih’ sambil
menyodorkan koran dan menunjuk pojok sebuah halaman
Disitu tertulis bahwa Departemen
Pendidikan akan memberikan beasiswa kepada 100 anak putus sekolah. Itu berarti
kami punya kesempatan mencari ilmu lagi. ‘Bu Lisna, kami akan sekolah lagi’.
Kami mempersiapkan diri kami
untuk mengikuti tes seleksi beasiswa itu. Kami belajar disela-sela pekerjaan
kami di perempatan. Bahkan sebelum tidurpun kami menyempatkan diri untuk
belajar. Sampai menjelang satu hari sebelum hari tes seleksi, aku masih belajar
bersama Ucok.
‘Cok, besok hari penentuan
kita’
‘Iya, Gar. Tapi aku gak yakin
kita bisa dapat beasiswa itu’
‘Cok, aku ingin cerita sama
kamu’
‘Cerita aja, Gar’
‘Kamu ingat hari kematian Bu
Lisna?’
‘Iya ingat, Gar. Memangnya
kenapa?’ tanya Ucok bingung
‘Begini, Cok. Sehari sebelum
kematian Bu Lisna dia datang ke dalam mimpiku. Di mimpiku itu dia bilang, ‘Tak
ada kata menyerah sebelum mencoba. Percayalah kepada dirimu dan hatimu sendiri’.
Begitu , Cok’ jelasku singkat
‘Maksudnya gimana, Gar?’
‘Begini, Cok. Besok ini hari
penentuan masa depan kita. Kita tidak boleh menyerah sebelum mencoba, dan kita
harus percaya kepada diri dan hati kita sendiri. Aku percaya kalau kita bisa
mendapatkan beasiswa itu. Aku juga mau kamu yakin dan percaya kalau kita mampu
mendapatkan beasiswa itu. Kamu harus yakin dan percaya, Cok’
‘Pasti, Gar’ jawab Ucok dengan
mata berbinar
Kami pun beranjak tidur,
mempersiapkan fisik kami untuk tes penerimaan besok
---
‘Hasil tes keluar hari ini,
Cok’ kataku pelan
‘Iya, Gar. Tapi aku yakin
kita pasti lulus tes itu, dan beasiswa itu pas jadi milik kita’
Aku kagum dengan
keyakinannya, ‘Iya, Cok. Kita pasti lulus’
Kami pun berjalan beriringan
menuju departemen pendidikan untuk melihat hasil tes penerimaan. Di depan papan
pengumuman sudah banyak anak-anak yang mengerubungi, untuk melihat hasil tes
penerimaan itu. Tidak sedikit dari mereka yang menangis, entah menangis haru
atau sedih, aku tidak tau.
Kami semakin dekat, dan Ucok
menggenggam erat tanganku. Aku membalas dengan tepukan pelan di pundaknya. Kami
menyusuri nama demi nama yang tertera di papan pengumuman. Tangan kami gemetar,
keringat bercucuran di kening kami. Sudah sampai di nomer 70 dan nama kami
belum muncul. Jantung kami berdegup kencang. Sampai akhirnya aku melihat nama
Ucok tertera di nomer 79. Aku menyalaminya dan memberikan selamat. Aku kembali
menyusuri nama-nama di papan. Harapanku diterima sangatlah kecil.
‘Percayalah kepada dirimu dan
hatimu sendiri, Tegar’ kata-kata Bu Lisana kembali terngiang di kepalaku.
‘Iya Bu, saya yakin’ gumamku
Aku kembali menyusuri
nama-nama di papan, dan kali ini aku percaya bahwa salah satu beasiswa itu
adalah milikku. Sudah sampai di nomer 90 dan aku masih belum bisa menemukan
namaku tertera disitu. Satu-satu aku lihat nama itu baik-baik. Hingga di urutan
ke 99 aku menemukan nama Tegar Arifin tertera disana.
‘Ucok, aku lulus! Beasiswa
itu milik aku, milik kamu, milik kita’ teriakku
‘Alhamdulillah, Gar.
Perjuangan kita tidak sia-sia. Karena kita percaya dan yakin, Gar’
‘iya, Cok. Iya’ dan aku pun
memeluk Ucok
Pandanganku kemudian tertuju
ke langit, dimana ku lihat Bu Lisna tersenyum sambil mengacungkan jempolnya
kepadaku.
‘Terima kasih, Bu. Aku akan
selalu yakin pada diri dan hatiku’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar