aku bukanlah perangkai kata2 dan bukan juga pujangga
tapi aku adalah aku , apa adanya , dengan segala keterbatasan yang ada

Rabu, 26 Desember 2012

jangan menyerah


Deru kendaraan saling sahut menyahut bergantian melewati perempatan tempatku biasa mencari nafkah. Debu jalanan dan teriknya matahari telah menjadi kawan baik yang selalu menemaniku setiap hari. Peluh yang bercucuran, ku seka dengan punggung tanganku. Ku hitung receh demi receh yang kudapatkan dari belas kasihan orang-orang.

'Ahh, baru terkumpul segini' keluhku sambil menatap nanar uang yang berada di tanganku.
'Masih kurang lima ribu lagi'

Lampu lalu lintas sudah kembali menyala merah, dan aku masih saja duduk dibawah pohon pinggir jalan bukannya bergegas menghampiri kendaraan-kendaraan itu seperti temanku yang lain. Rasanya sudah tidak kuat lagi kakiku berjalan menyusuri mobil demi mobil untuk meminta belas kasihan mereka. Sudah seharian ini aku mengamen, tapi hasil yang aku dapat baru 15 ribu. Aku masih menatap pasrah kendaraan didepanku yang tertahan oleh lampu merah sampai akhirnya sebuah pukulan di kepala menyadarkanku.

'Hey, pemalas! Mau sampai kapan duduk terus?' bentakan Bang Bewok mengagetkanku.
'I..i..iiya bang. Ini juga baru mau jalan' jawabku terbata-bata.
'Cepat sana!'

Aku pun berjalan gontai ke arah kendaraan yang masih berhenti. Sambil mengamen, aku memperhatikan Bang Bewok yang sedang duduk sambil memainkan gitar kecil di tangannya. Bang Bewok adalah bawahan dari boss Acun yang tugasnya mengawasi kami bekerja dan memastikan kami pulang membawa setoran setiap hari.

Bang Bewok adalah tipikal orang kasar yang tidak segan-segan untuk menyakiti orang lain yang tidak mematuhi perintahnya. Karena sifatnya itulah dia menjadi tangan kanan kesayangan boss Acun.

Sebuah koin lima ratus rupiah terulur dari sela jendela mobil di hadapanku. Aku melanjutkan lagi tugasku. Aku baru bisa menyelesaikan tugasku jam 10 malam. Aku bergegas pulang ke rumah seusai tugasku yang melelahkan sedari pagi sampai malam.

Sebenarnya, tempat itu tidak layak disebut rumah. Tempat itu adalah penampungan bagi kami, anak jalanan sebatang kara yang dipungut kemudian dipekerjakan oleh boss Acun. Penampungan yang kami tempati ini seperti barak, berukuran 6x5 meter dengan tikar sebagai alasnya.

Sesampainya aku didalam penampungan, kulihat sudah ada beberapa temanku yang tertidur. Mereka lelah, sama sepertiku. Aku pun langsung merebahkan tubuhku di tikar tempatku biasa tidur. Aku harus bangun pagi besok, karena besok adalah hari Minggu yang berarti hari liburku mengamen dan aku bisa pergi belajar di tempat Bu Lisna.

---

Aku bangun pukul 7, ketika matahari mulai muncul malu-malu menerobos sela-sela dinding penampungan. Segera aku membersihkan diriku, mengambil bukuku dan berlari ke kolong jembatan dekat tempat aku mangkal dimana tempat Bu Lisna biasa mengajar anak-anak jalanan sepertiku.

Bu Lisna adalah dewi penerang bagi duniaku yang gelap. Dia adalah salah satu guru lulusan universitas negeri di Jakarta, yang mengajar sekolah dasar di kawasan Jakarta Pusat. Setiap Senin sampai Jum'at dia mengajar di sekolah itu, dan setiap hari Minggu dia mengajar kami agar kami tidak buta huruf dan angka. Dia mengabdikan seluruh hidupnya untuk mencerdaskan anak-anak calon penerus bangsa tanpa pandang bulu.

Dari jauh sayup kudengar suara Bu Lisna mengeja kata di papan tulis. Aku semakin bersemangat mengayunkan kakiku lebih cepat untuk bisa sampai di tempatnya. Tanpa terasa aku setengah berlari. Rambutku mengayun seirama langkahku yang makin mantap. Sesampainya di kelas, langsung kucium tangan Bu Lisna kemudian duduk.

'Tegar, coba sekarang kamu baca tulisan di papan tulis ini' perintah Bu Lisna
Aku pun maju ke depan kelas, membaca tulisan tangan Bu Lisna yang rapi 'Tidak ada kata menyerah sebelum mencoba' begitu tulisan yang ditulis olehnya. Beliau hanya tersenyum penuh arti.

Hari itu kami semua seperti merasakan kekuatan dari tulisan Bu Lisna. Kata-kata itu terus ku ulang dalam hati 'Tidak ada kata menyerah sebelum mencoba'. Singkat, padat, penuh arti. Memberi kami semangat sekaligus pengharapan baru. Tanpa terasa hari sudah sore dan kelaspun usai. Sungguh berat bagi kami untuk melangkah pulang ke penampungan. Terlebih lagi menyadari bahwa besok kami harus bekerja mencari setoran lagi.

---

Di penampungan aku masih mengulang kata-kata dari tulisan Bu Lisna. Kata-kata itu seolah menghipnotisku, merasuk ke dalam alam bawah sadarku. Terus terngiang sampai aku tertidur dan aku memimpikannya. Di dalam mimpiku itu, kulihat Bu Lisna ada di depan kelas mengajar seperti biasanya. Kemudian dia memanggilku dan berkata 'Tegar, tidak ada kata menyerah sebelum mencoba. Percayalah kepada dirimu dan hatimu sendiri' kemudian dia menghilang dan aku terbangun.

Aku bergegas menuju perempatan. Belum sempat aku mengamen, Ucok, temanku satu penampungan menyodorkan koran dan menyuruhku membaca headline dari koran tersebut.
'Seorang guru tewas dirampok sekawanan penjahat di rumahnya' jantungku berdegup cepat.
Mataku langsung tertuju ke foto yang berada di bawah berita itu. Aku sempat tidak memercayai mataku, karena aku melihat Bu Lisna tergeletak bersimbah darah. Aku lihat lekat-lekat dan kemudian aku baca kelanjutan dari berita tersebut. Disitu disebutkan bahwa korban bernama Lisna Sulistiawati. Air mataku sudah tak terbendung lagi. Aku menangis sejadi-jadinya.

Aku dan Ucok mendatangi rumahnya dan mengikuti pemakamannya. Entah bagaimana hidup kami nanti tanpa adanya dia. Bagaimana bisa aku tetap belajar mencari ilmu tanpa kehadirannya.

---

Hari-hariku setelah kepergian Bu Lisna sama saja. Aku masih mencari uang dengan mengamen di perempatan. Kata-kata yang sama masih sering ku ucapkan ‘Tidak ada kata menyerah sebelum mencoba’, kata-kata yang membuatku bersemangat dan juga membuatku terus memikirkannya. Entah mengapa dia hadir di mimpiku pada hari kematiannya. Apakah maksud dari perkataan dia di dalam mimpiku itu?

Aku kembali menyusuri jalanan sambil bermandikan tetes air hujan. Siang ini Jakarta hujan. Aku mendapatkan uang lebih cepat dari biasanya. Pukul setengah delapan aku sudah sampai di penampungan. 100 meter dari penampungan aku melihat beberapa mobil polisi dan ada banyak polisi yang bersiap siaga. Aku bersembunyi di balik pohon, melihat pemandangan yang terjadi di hadapanku. Tak lama kulihat Boss Acun digiring oleh polisi berseragam preman, kemudian menyususul di belakangnya ada Bang Bewok yang juga digiring oleh polisi berseragam preman.

Teman-temanku hanya melihat diam dari dalam penampungan. Beberapa temanku ada yang menangis.
‘Ada apa ini, Cok?’ tanyaku kepada Ucok yang melihat kejadian itu dari dalam penampungan
‘Boss Acun sama Bang Bewok ditangkap polisi gara-gara masalah Narkoba’ jawab Ucok
Aku hanya bisa diam. Aku memikirkan bagaimana nasib kami selanjutnya?
‘Gar, gimana nasib kita selanjutnya?’
‘Aku juga gak tau, Cok. Yang pasti kita harus tetap bisa nyari uang buat makan kita’

---

Sebulan berselang dari kejadian penangkapan Boss Acun dan Bang Bewok, aku menerima kabar kalau mereka ditahan selama 12 tahun. Itu berarti, aku dan teman-temanku harus memikirkan nasib kami sendiri. Kamilah yang menentukan akan jadi apa kami setelah ini. Dari kejauhan aku melihat Ucok berlari ke arahku.
‘Gar, Tegar, aku punya kabar baik buat kita’ katanya sambil ngos-ngosan
‘Kabar baik apa, Cok?’ tanyaku tak sabar
‘ Lihat nih’ sambil menyodorkan koran dan menunjuk pojok sebuah halaman
Disitu tertulis bahwa Departemen Pendidikan akan memberikan beasiswa kepada 100 anak putus sekolah. Itu berarti kami punya kesempatan mencari ilmu lagi. ‘Bu Lisna, kami akan sekolah lagi’.

Kami mempersiapkan diri kami untuk mengikuti tes seleksi beasiswa itu. Kami belajar disela-sela pekerjaan kami di perempatan. Bahkan sebelum tidurpun kami menyempatkan diri untuk belajar. Sampai menjelang satu hari sebelum hari tes seleksi, aku masih belajar bersama Ucok.
‘Cok, besok hari penentuan kita’
‘Iya, Gar. Tapi aku gak yakin kita bisa dapat beasiswa itu’
‘Cok, aku ingin cerita sama kamu’
‘Cerita aja, Gar’
‘Kamu ingat hari kematian Bu Lisna?’
‘Iya ingat, Gar. Memangnya kenapa?’ tanya Ucok bingung
‘Begini, Cok. Sehari sebelum kematian Bu Lisna dia datang ke dalam mimpiku. Di mimpiku itu dia bilang, ‘Tak ada kata menyerah sebelum mencoba. Percayalah kepada dirimu dan hatimu sendiri’. Begitu , Cok’ jelasku singkat
‘Maksudnya gimana, Gar?’
‘Begini, Cok. Besok ini hari penentuan masa depan kita. Kita tidak boleh menyerah sebelum mencoba, dan kita harus percaya kepada diri dan hati kita sendiri. Aku percaya kalau kita bisa mendapatkan beasiswa itu. Aku juga mau kamu yakin dan percaya kalau kita mampu mendapatkan beasiswa itu. Kamu harus yakin dan percaya, Cok’
‘Pasti, Gar’ jawab Ucok dengan mata berbinar
Kami pun beranjak tidur, mempersiapkan fisik kami untuk tes penerimaan besok

---

‘Hasil tes keluar hari ini, Cok’ kataku pelan
‘Iya, Gar. Tapi aku yakin kita pasti lulus tes itu, dan beasiswa itu pas jadi milik kita’
Aku kagum dengan keyakinannya, ‘Iya, Cok. Kita pasti lulus’

Kami pun berjalan beriringan menuju departemen pendidikan untuk melihat hasil tes penerimaan. Di depan papan pengumuman sudah banyak anak-anak yang mengerubungi, untuk melihat hasil tes penerimaan itu. Tidak sedikit dari mereka yang menangis, entah menangis haru atau sedih, aku tidak tau.

Kami semakin dekat, dan Ucok menggenggam erat tanganku. Aku membalas dengan tepukan pelan di pundaknya. Kami menyusuri nama demi nama yang tertera di papan pengumuman. Tangan kami gemetar, keringat bercucuran di kening kami. Sudah sampai di nomer 70 dan nama kami belum muncul. Jantung kami berdegup kencang. Sampai akhirnya aku melihat nama Ucok tertera di nomer 79. Aku menyalaminya dan memberikan selamat. Aku kembali menyusuri nama-nama di papan. Harapanku diterima sangatlah kecil.

‘Percayalah kepada dirimu dan hatimu sendiri, Tegar’ kata-kata Bu Lisana kembali terngiang di kepalaku.
‘Iya Bu, saya yakin’ gumamku

Aku kembali menyusuri nama-nama di papan, dan kali ini aku percaya bahwa salah satu beasiswa itu adalah milikku. Sudah sampai di nomer 90 dan aku masih belum bisa menemukan namaku tertera disitu. Satu-satu aku lihat nama itu baik-baik. Hingga di urutan ke 99 aku menemukan nama Tegar Arifin tertera disana.

‘Ucok, aku lulus! Beasiswa itu milik aku, milik kamu, milik kita’ teriakku
‘Alhamdulillah, Gar. Perjuangan kita tidak sia-sia. Karena kita percaya dan yakin, Gar’
‘iya, Cok. Iya’ dan aku pun memeluk Ucok

Pandanganku kemudian tertuju ke langit, dimana ku lihat Bu Lisna tersenyum sambil mengacungkan jempolnya kepadaku.
‘Terima kasih, Bu. Aku akan selalu yakin pada diri dan hatiku’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar