Rintik
hujan mulai berubah menjadi aliran jernih di kaca jendela di hadapanku. Sayup
terdengar musik mengalun lembut bercampur obrolan ringan pengunjung kedai kopi
ini. Aku makin masuk dalam lamunanku, kembali teringat 4 tahun silam dimana
kedai ini dan tepat di tempat yang aku duduki sekarang ini menjadi saksi bisu
kepergian dia yang dulu selalu menemani setiap langkahku.
Secangkir
kopi hitam pekat yang isinya sudah tinggal setengah dan hampir dingin serta
sebatang rokok yang menyala tergeletak diam di atas meja, menungguku untuk
menikmatinya lagi, tapi aku hanya memandangi mereka dengan tatapan kosong. Pikiranku
berkecamuk seperti angin yang meniup dahan pohon di luar sana.
Pelan kuhisap
rokokku, sejenak kepenatanku menguap bersama asap yang kemudian berganti dengan
racun yang masuk kedalam tubuhku. Kulihat mereka beranjak ke langit, keluar
melewati ventilasi dan kemudian menghilang, membawa serta tangis dan air mataku
bersamanya. Seringai senyum tipis tergambar diwajahku. Sudah habis air mata ini
tertumpah yang aku tau hanyalah sia-sia. Sebanyak apapun air mataku, sekeras
apapun tangisanku, tak akan membawa dia kembali ke hadapanku.
Kembali kunyalakan
rokokku. Kutukar semua kesakitan ini dengan racun yang siap menggerogoti
tubuhku sedikit demi sedikit. ‘Lebih baik daripada dicampakkan’ pikirku. Semua
janji indah itu hanyalah fatamorgana sesaat. Semua kenangan indah itu hanyalah
dongeng sebelum tidur. Cerita yang aku pikir akan berakhir dengan bahagia tapi
nyatanya tidak. Kuhisap dan kuhembuskan asap tipis dari bibirku, berharap semua
“kenangan yang terlalu indah” itu lenyap, menghilang, bersatu menjadi awan
hujan asam.
Entah sudah
berapa banyak racun yang masuk kedalam tubuhku, aku tak peduli. Yang aku tau, aku menikmati dengan semua
hembusan yang keluar. ‘Dia lelaki sempurna, sangat sempurna yang aku tau bahwa
dia sama sekali tidak diciptakan untukku’ lirihku pelan.
Kembali
terlintas detik-detik kepergiannya, tanpa mengucapkan sepatah kata ‘maaf’ dia
pergi meninggalkan hidupku, menyisakan hatiku yang hancur menjadi serpihan
kecil. Bagian yang paling menyakitkan adalah menghadapi kenyataan bahwa di
setiap serpihan kecil itu selalu ada dirinya, kenangan bersamanya.
Tapi semua
itu sudah berlalu, kenangan itu harus disudahi. Kenangan itu tak lebih hanyalah bekas
luka setengah kering yang harus aku diamkan, aku abaikan, agar aku tak
merasakan lagi sakit dan perihnya dicampakkan oleh orang yang salah.
Hujan
sepertinya masih mau bermanja-manja dengan bumi, tidak mau beranjak pergi. Kuhabiskan
kopi dan hisapan rokokku yang terakhir. Aku pun beranjak keluar dan pergi.
Berjalan di bawah rintik hujan dengan ayunan kaki yang ringan. Terselip doa
dalam hati ‘Tuhan, jagalah dia disana, berikan yang terbaik untukku dan dia’.
aku beranjak menjauh pergi, dan tak akan kembali lagi. karena aku, akan
mengeringkan lukaku sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar