aku bukanlah perangkai kata2 dan bukan juga pujangga
tapi aku adalah aku , apa adanya , dengan segala keterbatasan yang ada

Kamis, 23 Februari 2012

akhir penantian

Rintik hujan mulai berubah menjadi aliran jernih di kaca jendela di hadapanku. Sayup terdengar musik mengalun lembut bercampur obrolan ringan pengunjung kedai kopi ini. Aku makin masuk dalam lamunanku, kembali teringat 4 tahun silam dimana kedai ini dan tepat di tempat yang aku duduki sekarang ini menjadi saksi bisu kepergian dia yang dulu selalu menemani setiap langkahku.
Secangkir kopi hitam pekat yang isinya sudah tinggal setengah dan hampir dingin serta sebatang rokok yang menyala tergeletak diam di atas meja, menungguku untuk menikmatinya lagi, tapi aku hanya memandangi mereka dengan tatapan kosong. Pikiranku berkecamuk seperti angin yang meniup dahan pohon di luar sana.
Pelan kuhisap rokokku, sejenak kepenatanku menguap bersama asap yang kemudian berganti dengan racun yang masuk kedalam tubuhku. Kulihat mereka beranjak ke langit, keluar melewati ventilasi dan kemudian menghilang, membawa serta tangis dan air mataku bersamanya. Seringai senyum tipis tergambar diwajahku. Sudah habis air mata ini tertumpah yang aku tau hanyalah sia-sia. Sebanyak apapun air mataku, sekeras apapun tangisanku, tak akan membawa dia kembali ke hadapanku.
Kembali kunyalakan rokokku. Kutukar semua kesakitan ini dengan racun yang siap menggerogoti tubuhku sedikit demi sedikit. ‘Lebih baik daripada dicampakkan’ pikirku. Semua janji indah itu hanyalah fatamorgana sesaat. Semua kenangan indah itu hanyalah dongeng sebelum tidur. Cerita yang aku pikir akan berakhir dengan bahagia tapi nyatanya tidak. Kuhisap dan kuhembuskan asap tipis dari bibirku, berharap semua “kenangan yang terlalu indah” itu lenyap, menghilang, bersatu menjadi awan hujan asam.
Entah sudah berapa banyak racun yang masuk kedalam tubuhku, aku tak peduli. Yang aku tau, aku menikmati dengan semua hembusan yang keluar. ‘Dia lelaki sempurna, sangat sempurna yang aku tau bahwa dia sama sekali tidak diciptakan untukku’ lirihku pelan.
Kembali terlintas detik-detik kepergiannya, tanpa mengucapkan sepatah kata ‘maaf’ dia pergi meninggalkan hidupku, menyisakan hatiku yang hancur menjadi serpihan kecil. Bagian yang paling menyakitkan adalah menghadapi kenyataan bahwa di setiap serpihan kecil itu selalu ada dirinya, kenangan bersamanya.
Tapi semua itu sudah berlalu, kenangan itu harus disudahi. Kenangan itu tak lebih hanyalah bekas luka setengah kering yang harus aku diamkan, aku abaikan, agar aku tak merasakan lagi sakit dan perihnya dicampakkan oleh orang yang salah.
Hujan sepertinya masih mau bermanja-manja dengan bumi, tidak mau beranjak pergi. Kuhabiskan kopi dan hisapan rokokku yang terakhir. Aku pun beranjak keluar dan pergi. Berjalan di bawah rintik hujan dengan ayunan kaki yang ringan. Terselip doa dalam hati ‘Tuhan, jagalah dia disana, berikan yang terbaik untukku dan dia’. aku beranjak menjauh pergi, dan tak akan kembali lagi. karena aku, akan mengeringkan lukaku sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar